Apa Kata Anak SMA tentang RUU yang Mereka Tak Mengerti?
Oktober 19, 2025
Dipublikasikan
September 08, 2025
Generasi Z katanya paling update soal tren, tapi giliran ditanya soal RUU Sisdiknas banyak yang geleng kepala. Ironisnya kebijakan yang bakal ngatur masa depan sekolah mereka justru terasa kayak teka teki silang yang tidak pernah dibagikan kuncinya.
Ringkasan Artikel:
- Banyak siswa SMA tidak tahu isi RUU Sisdiknas karena info di sekolah minim.
- Kekhawatiran muncul soal madrasah dan sekolah swasta yang bisa tersisih.
- Demonstrasi pelajar sering jadi cara menyuarakan keresahan kebijakan.
- Guru sendiri bingung jelaskan isi RUU sehingga siswa makin tidak paham.
- Media sosial bisa dipakai untuk edukasi kebijakan yang lebih ramah siswa.
Kenapa RUU Bikin Anak SMA Bingung Setengah Mati
Banyak pelajar ngaku baru tahu ada RUU Sisdiknas pas ditanya. Mereka tahunya cuma kurikulum berubah terus guru jadi makin pusing. Jadi wajar kalau siswa juga bengong, informasinya memang kayak sinyal wifi sekolah, sering putus nyambung.Sumber utama info ternyata bukan guru atau sekolah, tapi medsos. Dari feed Instagram sampai video TikTok yang entah benar entah hoax. Akibatnya, siswa lebih sering dapat rumor soal madrasah bakal hilang ketimbang penjelasan resmi.
Di sisi lain, sekolah pun tidak jadi corong informasi. Banyak guru juga tidak dikasih panduan yang jelas, jadi mereka hanya bisa kasih versi potongan. Situasi ini bikin anak SMA makin lost soal apa yang sebenarnya sedang disiapkan negara.
Madrasah Tak Disebut Lagi, Kok Bisa Jadi Horor?
Siswa madrasah merasa ada ancaman identitas kalau nama madrasah hilang dari draf RUU. Walau katanya hanya masalah istilah, tetap saja bagi mereka ini seperti dicabut papan nama yang sudah turun temurun.Kekhawatiran makin besar karena madrasah punya sejarah panjang. Kalau istilahnya lenyap, wajar kalau mereka takut pemerintah tidak lagi menganggap penting jalur pendidikan berbasis agama.
Bukan cuma madrasah, sekolah swasta juga merasa deg-degan. Mereka bilang kalau tanpa dukungan jelas, jurang kualitas antara negeri dan swasta bisa semakin dalam. Jadi intinya, anak sekolah sudah resah meski belum paham detailnya.
Pelajar Turun ke Jalan Itu Tradisi Bukan Hobi
Demo sudah jadi bahasa cinta pelajar ke negeri ini. Dari penolakan RUU KUHP tahun 2019 sampai RUU Pilkada tahun 2024, siswa tidak segan turun ke jalan. Walau sering berujung bentrokan, semangatnya tetap sama, menyuarakan keresahan.Sekitar 125 pelajar pernah ditangkap dalam aksi RUU Pilkada. Itu bukan angka kecil dan membuktikan mereka peduli. Jadi kalau ada yang bilang pelajar apatis, mungkin belum pernah ikut berdesakan di barisan demonstrasi.
Organisasi guru juga ikut angkat suara. Forum Serikat Guru Indonesia menegaskan anak SMA dan SMK berhak bersuara di ruang publik. Jadi sudah jelas kalau pelajar bukan sekadar figuran, mereka bagian dari drama politik itu sendiri.
Sekolah Mestinya Jadi Radar Bukan Penonton
Sekolah seharusnya jadi tempat pertama siswa dapat info soal kebijakan. Tapi banyak guru sendiri yang bilang bingung. Akhirnya kelas hanya jadi tempat menebak nebak apa maksud dari isi draf RUU yang serba abu abu.Kalau pendidikan kewarganegaraan cuma berisi hafalan, jangan heran siswa tidak tahu apa apa. Seharusnya PKN membahas isu yang lagi hangat, biar anak tidak cuma hafal Pancasila tapi juga paham gimana aturan negara dibikin.
Dengan cara itu, pelajar bisa merasa relevan. Mereka tidak lagi sekadar belajar teori, tapi tahu posisi mereka di tengah kebijakan. Jadi literasi kebijakan bukan sekadar jargon, tapi pengalaman nyata di kelas.
Suara Pelajar Harusnya Jadi Alarm Bagi Pemerintah
Sosialisasi ke pelajar harus dilakukan serius, bukan cuma lewat dokumen PDF yang tidak pernah dibaca. Bisa lewat workshop, webinar, atau materi pelajaran yang nyambung dengan realita siswa.Lebih jauh, forum dialog perlu dibikin. Biar siswa bisa tanya langsung ke pembuat kebijakan, bukan cuma baca ringkasan dari media. Dengan begitu suara mereka tidak lagi dianggap angin lalu.
Dan tentu saja media sosial bisa jadi alat paling efektif. Bikin konten singkat, gampang dicerna, tapi akurat. Karena kalau tidak, anak SMA akan terus jadi korban informasi setengah matang yang bikin makin salah kaprah.
