Billboard Ads

Kenapa Rakyat Lebih Doyan Drama Politik daripada Kebijakan Publik?


Demokrasi di Indonesia makin mirip panggung hiburan, drama politik jadi tontonan favorit rakyat sementara kebijakan publik yang seharusnya menyentuh kehidupan sehari-hari malah kalah pamor.

Ringkasan Artikel:
  • Drama politik terasa seperti sinetron gratis yang bikin rakyat betah nonton.
  • Kebijakan publik dianggap ribet dan bikin ngantuk jadi kalah pamor.
  • Media lebih suka jual konflik karena lebih banyak dapat klik dan viral.
  • Polarisasi politik bikin rakyat sibuk dukung idola bukan bahas isi kebijakan.
  • Lemahnya pendidikan politik bikin masyarakat mudah terjebak drama.

Politik Jadi Sinetron Gratisan yang Seru Ditonton

Setiap hari selalu ada adegan baru dari panggung kekuasaan, mulai dari pemecatan elite partai sampai ribut internal yang bikin heboh. Publik menyerapnya seperti menonton episode sinetron tanpa perlu bayar langganan.

Tokoh politik tampil penuh intrik dan konflik layaknya karakter drama Korea yang bikin penonton geregetan. Sisi emosional ini jauh lebih gampang nyangkut di kepala ketimbang tabel pajak atau detail undang undang.

Teori dramaturgi ala Erving Goffman bilang politik itu seperti pertunjukan teater. Ada panggung depan buat jaga citra dan panggung belakang buat main strategi. Wajar kalau rakyat betah jadi penonton dibanding repot baca naskah kebijakan.

Kenapa Bahas Pajak Rasanya Kayak PR Matematika

Kebijakan publik punya reputasi sebagai topik yang ribet dan bikin ngantuk. Dari aturan pajak sampai mekanisme fiskal semuanya penuh angka dan istilah teknis yang jauh dari obrolan warung kopi.

Contoh paling jelas ada di Pati, Jawa Tengah. Awalnya cuma isu kenaikan PBB, tetapi baru ramai setelah rakyat marah besar dan bupati didesak mundur. Jadi bukan substansi yang dibahas, melainkan dramanya.

Kalau kebijakan dijelaskan kayak lembar ujian ekonomi SMA, wajar kalau masyarakat lebih pilih nonton konflik tokoh partai yang penuh plot twist.

Media Suka Pancing Klik dengan Skandal Politik

Media massa paham betul bahwa konflik lebih menjual ketimbang laporan kebijakan. Itu sebabnya berita tentang demo pakai keranda mayat lebih ramai daripada analisis pajak daerah. Klik lebih penting daripada literasi.

Media sosial tambah memperparah. Algoritma doyan konten kontroversial dan dramatis, bukan uraian panjang soal anggaran pembangunan. Drama politik pun gampang viral sementara dokumen kebijakan berdebu di sudut.

Fenomena ini bikin publik makin candu drama, karena setiap skandal dan hoaks bisa jadi tontonan massal, jauh lebih seru daripada penjelasan panjang pejabat soal APBN.

Polarisasi Politik Bikin Semua Jadi Pertandingan Fans

Masyarakat makin terbagi ke kubu kita dan mereka, mirip rivalitas fans bola yang saling lempar ejekan. Drama politik jadi bahan bakar buat menguatkan identitas kelompok masing masing.

Kasus Gibran didepak dari PDIP misalnya, lebih dipandang sebagai pertarungan antara pendukung Jokowi dan partai merah ketimbang masalah disiplin organisasi. Publik lebih sibuk tepuk tangan atau mencemooh daripada analisis detailnya.

Ketika drama jadi sarana loyalitas, substansi kebijakan makin kehilangan tempat. Yang penting menang adu yel yel, bukan menang perdebatan soal program rakyat.

Kurangnya Melek Politik Bikin Drama Menang Telak

Masalah utama ada di pendidikan politik yang lemah. Banyak warga belum terbiasa membaca kebijakan secara kritis, apalagi menantang pejabat dengan argumen berbasis data.

Akhirnya lebih mudah hanyut dalam narasi dramatis yang dikemas media dan elite. Konflik dianggap nyata, kebijakan dianggap rumit, lalu rakyat memilih jadi penonton pasif.

Tanpa bekal literasi politik, publik gampang dibelokkan. Drama politik menang telak karena lebih simpel, emosional, dan bikin heboh, sementara kebijakan publik kalah karena dianggap terlalu serius.
Baca Juga
Posting Komentar